Wednesday, June 13, 2007

Differentiate or Die



Ini judul salah satu buku yang aku baca pas masa kuliah. Itu beberapa tahun lalu. Intinya sih, kalau ingin tetap bertahan di dunia ini, kita harus beda. Uniformity sangat tidak dianjurkan. Apalagi dalam dunia usaha. Simpelnya, kalo warung bakso di ujung jalan jualan bakso dengan isi keju, maka kita jangan sampai buka warung bakso. Parah-parahnya kalo memang harus buka warung bakso, ya jangan bikin bakso isi keju. Bikin yang lain, bakso isi buah-buahan kek, atau bakso dengan bonus ramalan kayak Fortune Cookies. Apapun, yang penting beda.

Kenapa? Karena pada dasarnya manusia akan mudah bosan dengan keseragaman. Manusia mudah banget tergiur dengan hal-hal yang baru, yang tidak biasa. Manusia seneng banget dengan yang namanya ‘something special.’ Contoh gampangnya ya warung bakso tadi. Bakso isi keju atau bakso isi keju (insyaallah) bakal laku keras pada awal-awal pembukaan. Insyaallah – karena banyak sekali faktor-faktor lain yang turut menentukan laku tidaknya bakso inovatif itu. Marketing mix misalnya. Oke, dengan menafikkan faktor-faktor yang lain, lets say bakso inovatif tadi laku. Tapi untuk berapa lama? Awalnya orang akan datang karena pengen tahu, pengen nyoba. Pengen bisa jawab “Sudah, dong!” ketika muncul pertanyaan apa udah pernah nyobaik bakso isi keju. Ini gak akan berlangsung lama. Kecuali kalau orang itu memang jadi bener-bener jatuh cinta ama bakso isi keju buatan kita. Lalu apa dong yang harus kita lakukan agar orang yang cuman sekedar pengen tahu mau kembali lagi ke warung bakso kita? Sejarah membuktikan bahwa jumlah orang yang sekedar pengen tahu itu biasanya jauh lebih signifikan jika dibandingkan dengan pelanggan setia. Karena, pelanggan setia pun ada masanya akan mengalami kebosanan. Masih inget The Law of Diminishing Return, kan?

Dan naga-naganya hal ini lah yang sedang terjadi di kantor gue. Stuck, bahkan dragged down. Apa pasal? Well, gue gak tahu pasti. I’m not an expert anyway. Tapi, dari kacamata bego gue, ada beberapa hal yang bisa gue liat. Kalo diinget-inget penurunan ini mulai terjadi ketika kantor gue mengakuisisi perusahaan sejenis, sama-sama TV juga. Dulu adek baru ini sama sekali beda dengan kantor gue. Bermain di segmen yang berbeda, look beda, content beda, even ambience-nya juga beda.Dan adek baru ini sama sekali belum pernah merasakan keuntungan. Yang ada rugi mulu. Untung aja grupnya gede dan terkenal punya dana likuid lumayan banyak.

Setelah manajemen diambil alih, dilakukan perubahan besar-besaran. Gak cuma secara manajerial, tapi juga mengubah image adek baru secara keseluruhan. Jadinya, di mata orang awampun bakal keliatan bahwa adek baru ini seperti cloning alias fotokopian dari kantor gue. Wajar aja kan kalo ada orang mikir seperti itu. Liat saja berapa banyak program hasil produksi kantor gue yang ditransfer ke adek baru. Liat saja tipikal acara barunya (Empat Mata, Cipika Cipiki, Bakul Metropolis, dll). Liat saja talent pengisi acaranya. Liat ambience-nya. Atau liat saja logo barunya. Lalu? Emang kenapa? Toh dengan cara ini share adek baru naik drastis. Toh dengan cara ini look-nya emang tambah cakep. Dan (yang paling penting) pendapatannya juga meningkat tajam, hingga untuk pertama kalinya adek baru bisa merasakan manisnya laba.

Justru itulah masalahnya. Cloning atau fotokopian. Ide kreatif dari kepala yang sama yang harus tetap mempertahankan suply ide kreatif di dua tempat. Seperti yang gue bilang di atas (analisis warung bakso), orang cenderung menyukai sesuatu yang baru. Even seandainya sesuatu yang baru itu cuman pindahan dari tempat lama ke tempat baru. Sudah look-nya sama, content sama, segmen yang dibidik sama pula. Jadinya ya kayak orang bego, rebutan ama sodara sendiri. Kalo diliat secara parsial memang kesannya adek baru hebat banget, dalam tempo beberapa bulan sudah bisa merajai divisi 2 stasiun TV dalam hal share. Tapi apa hebatnya share adek baru naik kalau yang direbut adalah share sodara sendiri? Soalnya banyak orang ngerasa ngeliat adek baru seperti ngeliat kantor gue dengan versi baru.

Sementara apa yang terjadi dengan kantor gue? Waks, terlalu perih untuk dikatakan. Gak perlu lah ditanyakan posisi kantor gue sekarang di chart AC Nielsen. Wajar, sih. Karena dengan suply kreatif yang harus dibagi di dua station yang menembak segmen yang sama, memang sangat tidak mudah mempertahankan kantor gue untuk selalu menjadi ‘the freshmaker and the trendsetter.’ Wajar sekali karena ide orang juga bakal ada mentoknya, ada capeknya.Tapi tetep aja: merubah format, menambah host, sedikit renda di sini, ditambah pita di sana, diberi kerutan dll sama sekali gak cukup. Orang bakal tetep merasa that we are the same old TV. Orang ngeliat bahwa kita masih memakai baju yang sama. Kalo mau diliat BERBEDA, gunting bajunya. Pendekin rok-nya. Buang lengannya. Atau kalau mau drastis sekalian aja ganti baju. Di dalam, kita masih orang yang sama, tapi sama sekali gak dosa kan kalo kita berpenampilan sesuai dengan tuntutan sikon. Gak lucu lah kalo maksa mau naek gunung pake tuxedo, hehehehe.

Gue memang sama sekali gak berhak menghakimi atau memaksa orang untuk sepakat dengan pendapat gue. Tapi gue percaya banget dengan apa yang gue baca di Differentiate or Die. Gak lucu lah kalo punya 2 perusahaan yang saling rebutan. Liat aja Armani yang dengan suksesnya bisa bikin Giorgio, Emporio dan AX. Ketiganya dengan target customer yang berbeda. Atau Toyota dengan Crown, Corolla dan Coronanya beberapa tahun yang lalu. Atau (contoh paling deket) MNC dengan RCTI, TPI dan Globalnya.

Bagaimana mereka bisa sukses? Sederhana saja, karena mereka sadar betul bahwa dunia ini (entah sejak kapan) memiliki banyak strata yang terbentuk karena perbedaan secara ekonomis, secara edukasi, secara sosiokultur, secara geografis dan banyak faktor lain. Dan strata itu bukan berarti mereka harus membatasi fokus di satu level saja ketika ingin ekspansi. Malah mereka menyadari bahwa ini merupakan kesempatan untuk lebih ‘mendekatkan diri’ dengan customer potensial yang ada di level yang lain. Tentang image, serahkan saja pada pasar bagaimana mereka menerima apa yang kita tawarkan. Asalkan kita tetap dengan komitmen kita to deliver the best. Toh orang juga tahu bahwa Giorgio memang beda dengan Emporio. Tapi secara kualitas, keduanya tetap memberikan yang terbaik di kelasnya masing-masing. Worth the money spent, lah.

Gue cuman bisa berharap para decision maker di kantor gue sempet memikirkan alternatif ini. Differentiate or Die dan The Law of Diminishing Return sudah terlalu banyak buktinya. Jangan sampai (knock-knock on the wood) kita harus mengalami keterpurukan pasca keberhasilan. Sama sekali gak lucu, lah. Gue yakin kita jauuuh lebih baik daripada itu. Apalagi gue masih yakin, kreativitas yang ‘berani beda’ masih jauh lebih keren daripada sekedar copy-paste.

2 comments:

  1. Anonymous4:07 PM

    Hi mba...
    sing sabar yooo
    btw salam kenal ^_^


    S 03 CI

    ReplyDelete
  2. sebenarnya gak sedih, sih. Lha wong kenyataan yang harus dihadapi. Cuma concern aja... But, thanks anyway

    ReplyDelete